[BAB Sembarangan Masih Menjadi Budaya]Larangan BAB Sembarangan Lewat Spanduk&Pamflet

Larangan BAB Sembarangan Lewat Spanduk dan Pamflet
Bramirus Mikail | Asep Candra | Jumat, 1 Juni 2012 | 08:19 WIB

[imagetag]

JENEPONTE, KOMPAS.com - Perang terhadap stop buang air besar sembarangan (BABS) terus diupayakan oleh warga desa Jombe. Desa Jombe memiliki luas 3,76 km persegi dan berada sekitar sembilan kilometer dari Bontosunggu, ibukota Kebupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.

Ada hal menarik yang bisa Anda temui jika berkesempatan mengunjungi daerah yang memiliki jumlah penduduk 2.312 jiwa dan sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani. Ketika memasuki desa ini, Anda akan menemui spanduk bertuliskan "Anda Memasuki Lokasi Persiapan Bebas T**". Sedangkan untuk pamflet yang ditempel di tiang-tiang listrik, Anda akan menemukan tulisan "Saya Malu dan Jijik A**** di Sembarang Tempat".

Intinya, baik spanduk atau pamflet tersebut dimaksudkan untuk mendorong masyarakat desa Jombe supaya mau mengubah perilaku buang air besar sembarangan. Sampai saat ini, masih ada 30 persen warga di Desa Jombe yang BAB di sembarang tempat, seperti kebun atau tepi sungai yang letaknya tidak jauh dari rumah.

"Spanduk atau pamflet ini bukanlah suatu kebanggaan tetapi merupakan motivasi kepada masyarakat dan pemerintah desa agar secepatnya masyarakat bebas tai. Jadi bukan merupakan kebanggan tetapi lebih untuk memotivasi," ujar Kepala Desa Jombe, Baso Padewakkang, saat menerima rombongan wartawan di Kantor Kepala Desa, Kamis, (31/5/2012).

Padewakkang mengatakan, sampai saat ini sudah ada 356 kepala keluarga (KK) yang sudah mempunyai jamban. Sementara itu, masih ada 179 kepala keluarga (KK) yang belum punya jamban.

"Mudah-mudahan akhir bulan Juli Jombe sudah benar-benar bebas dari praktik buang air besar sembarangan," ujarnya.

Untuk mengatasi hal ini, pendekatan ke masyarakat dengan jalur musyawarah masih dan akan terus dilakukan. Caranya dengan memanggil setiap masyarakat yang belum memiliki jamban supaya mau membuat jamban dirumah mereka.

Padewakkang mengungkapkan, bagi warga yang tidak memiliki jamban, mereka tidak akan mendapat ijin untuk membuat pesta dan tidak mendapat rujukan untuk berobat ke rumah sakit. Dengan cara ini diharapkan masyarakat mau serius untuk membuat jamban dirumah mereka.

Menurut Padewakkang, pendekatan dengan musyawarah dan sosialisasi melalui kader sanitarian tampaknya memiliki andil besar dalam mengubah perilaku BAB warga Desa Jombe. Dari 5 dusun yang ada di Desa Jombe (Jombe Utara, Jombe Tengah, Jombe Selatan, Tompo Balang, dan Muncu-Muncu), sudah ada satu dusun di mana semua warganya sudah memiliki jamban, yakni Jombe Tengah.

Faktor ekonomi dan masih kuatnya budaya buang air besar sembarangan (BABS), khususnya utnuk masyarakat Desa Jombe menjadi salah satu alasan mengapa masih banyak warga yang BABS. Hal ini pula yang dialami oleh Making (45).
Pria yang kesehariannya bekerja sebagai petani ini mengaku sudah punya niat untuk membuat jamban sendiri, namun karena terbentur alasan biaya, keinginannya tersebut harus tertunda.

Namun, bapak tiga anak ini sekarang sudah bisa sedikit tersenyum. Pasalnya, ia sekarang sudah mempunyai jamban sendiri, meskipun belum sepenuhnya selesai dikerjakan. Masih ada kekurangan seperti belum adanya dinding yang menutupi. Tapi paling tidak, saat ini Making dan keluarga sudah tidak lagi membuang hajat di sungai.

"Perasaan sekarang sudah enak. Sudah tidak perlu pergi jauh-jauh kalau buang air besar, dan lebih nyaman," ucapnya, saat ditemui Kompas.com di kediamannya.

Making mengaku mendapat bantuan dari kepala desa berupa kloset leher angsa, dua sak semen dan besi untuk membuat sebuah jamban sederhana. Bantuan tersebut ternyata belum sepenuhnya cukup, Making masih harus mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri kira-kira satu juta rupiah untuk bisa membangun sebuah jamban yang diidamkan.

"Separuh pembuatan jamban dari biaya sendiri dan sisanya dibantu oleh pak desa," katanya.

Sebelum memiliki jamban, Making mengaku sering mengalami sakit seperti diare dan muntaber. Hampir seluruh anggota keluarganya sudah pernah terkena penyakit ini.

Seperti diketahui, berdasarkan data tahun 2011, angka kesakitan masyarakat di Kabupaten Jeneponto cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat dari beberapa penyakit seperti diare (6.711 kasus), Kecacingan (1057 kasus), disentri (1915 kasus) dan typus/kolera (2794 kasus).


http://health.kompas.com/read/2012/0...uk.dan.Pamflet.






BAB Sembarangan Masih Menjadi Budaya
Bramirus Mikail | Erlangga Djumena | Kamis, 31 Mei 2012 | 06:44 WIB

[imagetag]
Kader Pemicu Stop Buang Air Besar Sembarangan di Desa Jombe, Kecamatan Turatea, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan



MAKASSAR, KOMPAS.com - Provinsi Sulawesi Selatan menargetkan pada akhir tahun 2014, sebanyak 80 persen masyarakatnya sudah stop buang air besar sembarangan. Saat ini (periode april-juni 2012) baru 50 persen warga Sulsel yang sudah stop buang air besar di sembarang tempat.

Demikian disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, Dr. Rachmat Latief, Sp. PD, M.Kes, saat acara Workshop Media dan Kunjungan Media Mewujudkan Stop BABS 2015, yang diselenggarakan oleh IUWASH, Rabu, (30/5/2012), di Makassar.

Rachmat mengatakan, negara dirugikan hampir triliunan rupiah karena kondisi lingkungan yang buruk. Suatu penelitian menunjukkan, apabila faktor lingkungan diperbaiki banyak penyakit bisa dicegah.

"Yang harus dirubah adalah mind set. BABS (buang air besar sembarangan) seakan sudah menjadi budaya. Mereka sudah terbiasa BABS di sungai dan kebun," ujarnya.

Rachmat mengungkapkan, perlu adanya sebuah perbaikan yang dimulai dari hulu, yaitu bagaimana mengubah perilaku masyarakat. Menurutnya, banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa kotoran yang mereka buang sembarangan mungkin tidak berpengaruh kepada pemilik kotoran, tetapi bisa berdampak buruk kepada orang lain. "Terbukti bahwa penyakit infeksi paling banyak di Sulsel adalah diare," cetusnya.

Padahal, kata Rachmat, diare bisa ditekan apabila seseorang menerapkan perilaku hidup bersih, seperti cuci tangan pakai sabun dan stop buang air besar sembarangan. Perbedaan antara penyakit menular dan tidak menular di Sulsel tidak samapai satu persen. Penyakit menular di sulsel masih didominasi oleh diare, sedangkan peyakit tidak menular didominasi oleh stroke.

"Kebanyakan kita mencari anggaran ratusan miliar untuk mengurus hal ini. Padahal yang harus kita lakukan adalah mencari penyebab atau akar masalahnya," terangnya.

Berbagai usaha tengah dilakukan dinas kesehatan Sulsel, misalnya, dengan mendatangai semua tempat lokasi yang masih tinggi kasus BABS oleh petugas propinsi dan kabupaten. Diharapkan dengan kunjungan langsung kelapangan dan memberikan pemahaman, masayarakat menjadi sadar dan mau membuat jamban.

Rachmat menambahkan, pihaknya sudah melatih petugas-petugas sanitarian di Puskesmas. Para sanitarian ini bertugas mengurus soal kebersihan dan mengamati berapa banyak orang yang masih memiliki perilaku BABS. "PHBS kita (Sulsel) masuk lima besar di Indonesia. Tentu kalau PHBS baik, yang sakit menghadapi kuratif angkanya tidak akan terlalu banyak," tutupnya.


http://health.kompas.com/read/2012/0...Menjadi.Budaya



Gue Jadi teringat dulu waktu masih di Kampung... asyik bisa BAB di Sungai langsung disamber ikan dan Kebun ditutupin rumput kering untuk dijadikan Ranjau Darat... :malu
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...